Selasa, 29 Januari 2013

MAKAN PINANG

Tulisan peringatan “Dilarang Meludah Pinang” pertama kali saya lihat di Bandara Sentani Jayapura berbilang tahun lalu. Kemudian, tulisan itu semakin sering saya temui di hampir semua hotel, tempat-tempat umum di papua, seperti supermarket, mall, bank dan kantor-kantor lainnya ketika saya banyak mengunjungi berbagai kota di Papua dan Papua Barat.

Rupanya, kebiasaan orang Papua mengunyah pinang dan sirih dan membuang air ludah yang berwarna merah itulah yang menjadi biang tulisan peringatan itu. Bekas warna merah yang menempel di tembok-tembok memang cukup mengganggu pemandangan. Demi kebersihan dan kesehatan bersama maka ada batasan di mana orang bisa mengunyah pinang. Tidak bisa di lobi hotel atau bandara, tapi kalau di dalam kamar sih tetap bisa saja.

Kebiasaan mengunyah pinang sendiri, hampir saya temui di setiap orang Papua yang saya kenal. Laki-laki dan perempuan. Dewasa maupun anak-anak. Ketika saya berenang di kolam renang sebuah hotel di Manokwari, saya kenalan dengan seorang anak berusia 10 tahun. Dari obrolan dengan dia, saya dapat tahu, semua keluarganya mengunyah pinang  termasuk dia, kakak dan adiknya. “Sehari, tiga kali saya makan sirih. Pagi siang dan sore. Tuh mama adek juga sedang makan pinang,” katanya menunjuk bibi yang mengantarnya ke kolam renang. Wow...

Makanya saya tidak lagi heran melihat kawan-kawan mengunyah pinang. Bahkan dalam beberapa kegiatan, seperti workshop dan seminar, di saat istirahat, mereka tidak tahan untuk tidak mengunyah pinang. Alhasil tempat sampah pun penuh dengan bekas air ludah  pinang yang berwarna merah. Dan kalau kita naik kapal putih, kapal cepat antar pulau, di dek paling atas, warna-warna merah bekas pinang ramai menghiasi sepanjang dek.

“Makan pinang, seperti rokok, membuat badan lebih segar,” kata Pak Awom kawan Papua saya. Menguatkan gigi juga katanya. Tapi itu bukan satu-satunya alasan. Akar budaya setempat lebih banyak menjadi alasan. “Saya makan pinang karena kedua orang tua saya juga makan pinang,” katanya. Disebut seperti rokok, karena membuat ketagihan pula.

Dengan mengunyah pinang, orang akan lebih diterima dalam komunitas Papua. Kalau kita masuk kampung, bertemu masyarakat setempat, ngobrol dan makan pinang bersama, kita tidak akan dianggap orang lain lagi. Makanya banyak kawan non papua saya, yang punya pergaulan erat dengan masyarakat Papua memiliki kebiasaan mengunyah pinang. 

Meratanya kebiasaan mengunyah pinang ini memunculkan para penjual pinang di setiap jalan di kota-kota di Papua dan Papua Barat. Satu raup pinang biasa dijual antara Rp 3.000,- sampai Rp 5.000,-. Jadi tidak bakal kesulitan kalau kita pecinta pinang di pulau ini. Pohon-pohon pinang juga banyak tumbuh di halaman rumah-rumah di Papua.

Cara mengunyah pinang di Papua berbeda dengan cara menguyah di Pasundan alias nyeupah/nyeureuh/makan sirih. Sirih sebagai pelengkap bukan berbentuk daun tapi diganti buah sirih  yang bentuknya seperti kacang panjang dan dengan sedikit kapur. Itulah yang kemudian bereaksi membuat air luadah menjadi merah. Dikunyah-kunyah kemudian dimuntahkan ampasnya. Rasanya? Silahkan coba sendiri.

Ada pesan dari kawan Papua saya, untuk yang pertama kali makan pinang, jangan pernah coba-coba menelan air pinang nanti bisa mabuk. Itulah yang kemudian saya alami. Penasaran saya mulai mengunyah pinang, tapi tanpa sirih dan kapur. Pinang hijau yang berbentuk bulatan seperti kelapa kecil dirobek pinggirnya, kemudian dikunyah isinya yang bulat kuning kecoklatan. Rasanya aneh, tapi saya terus kunyah. Tak sengaja air kunyahan tertelan. Alamak, kepala menjadi berkunang-kunang dan berat. Langkah pun sepoyongan. Saya pun harus tidur cukup lama untuk sadar dari mabuk yang halal ini. Tapi asli, saya tidak kapok untuk mengunyah lagi kapan-kapan...

Catatan: Penasaran dengan buah pinang atau jambe ini, saya coba-coba googling. Inilah sebagian yang saya dapatkan dari  http://id.wikipedia.org/wiki/Pinang

PINANG (Areca Catechu), ditanam untuk dimanfaatkan bijinya. Di Barat dikenal sebagai betel nut. Biji ini dikenal sebagai salah satu campuran orang makan sirih, selain gambir dan kapur. Biji pinang mengandung alkaloida seperti misalnya arekaina (arecaine) dan arekolina (arecoline), yang sedikit banyak bersifat racun dan adiktif, dapat merangsang otak. Sediaan simplisia biji pinang di apotek biasa digunakan untuk mengobati cacingan, terutama untuk mengatasi cacing pita.  Sementara itu, beberapa macam pinang bijinya menimbulkan rasa pening apabila dikunyah. Zat lain yang dikandung buah ini antara lain arecaidine, arecolidine, guracine (guacine), guvacoline dan beberapa unsur lainnya.

Secara tradisional, biji pinang digunakan dalam ramuan untuk mengobati sakit disentri, diare berdarah, dan kudisan. Biji ini juga dimanfaatkan sebagai penghasil zat pewarna merah dan bahan penyamak.
Anda cacingan? Makanlah pinang :D

1 komentar: